Jember Pos – Ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada 2016, banyak yang meramalkan akan terjadi perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi AS, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Perubahan ini tentunya berdampak pada hubungan ekonomi global, termasuk Indonesia. Trump dikenal dengan kebijakan proteksionisme yang menekankan kebijakan “America First,” yang mengutamakan kepentingan ekonomi domestik AS, dan ini dianggap sebagai tantangan besar bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh Trump, seperti tarif tinggi dan pembatasan impor, jelas menekan pasar ekspor bagi negara-negara yang bergantung pada perdagangan dengan AS, salah satunya Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya menekan ekspor tetapi juga berpotensi meningkatkan ketergantungan terhadap pasar dalam negeri dan regional. Namun, dalam setiap tantangan pasti ada peluang, dan ini adalah momen bagi negara berkembang untuk beradaptasi dan mencari alternatif yang lebih baik.
Pendekatan proteksionisme AS membawa dampak langsung pada Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor ke AS. Sektor-sektor seperti tekstil, elektronik, dan sepatu Indonesia yang menjadi andalan ekspor menghadapi ketidakpastian dengan adanya kebijakan tarif tinggi dari AS. Namun, hal ini juga memotivasi Indonesia untuk lebih mengutamakan kualitas dan inovasi produk agar dapat bersaing di pasar global yang semakin ketat. Para pelaku usaha di Indonesia didorong untuk mengembangkan produk dengan nilai tambah lebih tinggi dan menemukan pasar alternatif di luar AS.
Selain itu, ada pendapat dari para ekonom terkemuka, seperti Dani Rodrik dan Joseph Stiglitz, yang menekankan bahwa proteksionisme akan membatasi ruang pertumbuhan bagi negara berkembang. Mereka menyarankan negara-negara berkembang untuk menjaga keterbukaan ekonomi dan memperkuat hubungan perdagangan dengan negara-negara lain, baik secara regional maupun global. Dalam konteks ini, Indonesia bisa mengambil langkah strategis untuk memperkuat kemitraan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, yang menawarkan potensi pasar yang lebih stabil.
Jeffrey Sachs, seorang pakar ekonomi dari Columbia University, juga menyarankan negara berkembang untuk memperkuat kerja sama regional dan membangun blok perdagangan yang lebih solid. Melalui ASEAN, misalnya, Indonesia bisa memperluas pasar dengan negara-negara tetangga dan menciptakan sistem perdagangan yang lebih tahan terhadap kebijakan proteksionisme. Di samping itu, negara-negara berkembang juga perlu berinvestasi dalam sektor-sektor yang memiliki rantai pasok yang lebih kompleks dan sulit dipindahkan oleh kebijakan proteksionis AS. Salah satu sektor yang disarankan adalah teknologi dan manufaktur yang berfokus pada inovasi.
Namun, bukan hanya sektor perdagangan yang harus diperhatikan. Infrastruktur juga menjadi salah satu faktor penting yang perlu diperkuat oleh Indonesia untuk mendukung daya saing ekonomi. Pemerintah Indonesia bisa mengambil pelajaran dari kebijakan ekonomi Trump yang mendorong pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk merangsang ekonomi domestik. Di Indonesia, pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, dan jalur kereta api, akan memperlancar distribusi barang dan mempercepat integrasi pasar domestik dengan pasar internasional.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia harus memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan daya saing produk lokal melalui pengembangan teknologi, peningkatan kualitas produk, dan diversifikasi ekspor. Dalam hal ini, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dapat menjadi kunci dalam pengembangan ekonomi Indonesia. Dengan bantuan teknologi digital dan platform e-commerce, UKM Indonesia dapat memperluas pasar mereka secara global, bahkan dalam kondisi proteksionisme yang ketat.
Pemerintah Indonesia juga perlu fokus pada pengembangan produk ramah lingkungan, mengingat kebijakan Trump yang sering dianggap mengabaikan isu lingkungan. Di sisi lain, Indonesia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk menjadi pelopor dalam keberlanjutan, dengan mempromosikan produk-produk ramah lingkungan dan energi terbarukan. Melalui kebijakan yang mendukung keberlanjutan, Indonesia dapat menarik investasi asing yang peduli lingkungan, sekaligus membangun reputasi sebagai negara yang berkomitmen pada pelestarian alam.
Kebijakan Trump, meskipun membawa tantangan besar, pada akhirnya bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperkuat ekonomi domestik dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Dengan memfokuskan pada kualitas produk, memperluas kerja sama regional, meningkatkan infrastruktur, serta mendukung UKM, Indonesia berpotensi untuk menjadi pemain utama di pasar global yang lebih terdiversifikasi dan tangguh. Inilah momen bagi Indonesia untuk memperkuat kemandirian ekonomi dan membangun masa depan yang lebih baik di tengah ketidakpastian kebijakan global.
Dengan memanfaatkan semua peluang yang ada, Indonesia dapat menghadapai proteksionisme AS dengan strategi yang lebih matang dan proaktif. Sebagaimana yang disarankan oleh para ekonom seperti Arvind Subramanian, Indonesia harus berinvestasi dalam sektor-sektor yang dapat mengurangi ketergantungan pada pasar AS, seperti teknologi, energi terbarukan, dan manufaktur berkelanjutan. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat menjaga stabilitas ekonomi dan memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan meskipun ada ketegangan dalam perdagangan global.