Jember Pos – Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas IIB Tulungagung, Jawa Timur, telah mengisolasi dua narapidana terorisme (napiter), berinisial GDR dan M, dalam sel khusus terpisah dari narapidana lainnya. Pengawasan terhadap keduanya dilakukan secara ketat oleh petugas LP dan seorang wali/pamong napiter, yang bertugas mendampingi mereka selama masa karantina. Proses isolasi ini dimulai setelah kedua napiter tersebut diserahkan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 7 November 2024.
Kepala LP Klas IIB Tulungagung, R. Budiman Kusumah, menjelaskan bahwa kedua napiter ini sedang menjalani masa orientasi atau karantina selama dua minggu. Selama periode ini, mereka akan menjalani berbagai kegiatan pembinaan dan pengawasan intensif. GDR, yang terlibat dalam kelompok Negara Islam Indonesia (NII), dan M, yang tergabung dalam jaringan Jemaah Islamiyah (JI), masing-masing telah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
GDR dan M berada dalam satu sel khusus yang memiliki ukuran lebih besar dari sel pada umumnya, yakni 5×4 meter, yang biasanya dapat menampung 5-10 orang. Namun, karena mereka berdua masih dalam masa karantina, sel tersebut hanya diisi oleh keduanya. Penempatan mereka di sel terpisah bertujuan untuk mencegah penyebaran ideologi ekstremis yang masih mungkin melekat pada diri mereka. Sel ini juga tidak terhubung dengan blok sel narapidana lainnya untuk menjaga agar tidak terjadi interaksi yang dapat mempengaruhi warga binaan lainnya.
Selain pengawasan dari pihak LP, kedua napiter juga akan menjalani pembinaan oleh BNPT, yang dijadwalkan akan dilakukan secara virtual maupun langsung. Tujuan dari pembinaan ini adalah untuk memastikan bahwa keduanya dapat terbebas dari pengaruh radikalisasi dan kembali menyadari pentingnya nasionalisme Indonesia. Selama masa karantina, kedua napiter akan menjalani asesmen intensif untuk mengevaluasi sejauh mana mereka telah keluar dari pengaruh ekstremis. Selain itu, LP Klas IIB Tulungagung juga mengajukan surat kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk melakukan penelitian pemasyarakatan awal guna mendalami kondisi psikologis dan sosial keduanya.
Hasil asesmen dari BNPT dan Bapas ini akan menjadi dasar dalam menentukan apakah GDR dan M dapat melaksanakan ikrar kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika hasil evaluasi menyatakan bahwa keduanya siap untuk mengakui Pancasila sebagai dasar negara dan kembali ke pangkuan NKRI, mereka akan diberikan hak-hak dasar sebagai warga binaan lainnya, termasuk hak untuk berinteraksi dengan narapidana lainnya, mengikuti ibadah di masjid LP, serta mendapatkan remisi atau pengurangan masa hukuman.
Namun, jika hasil asesmen menunjukkan bahwa keduanya belum sepenuhnya bebas dari pengaruh radikalisasi, pembinaan akan dilanjutkan. Bahkan, mereka bisa saja dikembalikan ke lembaga pemasyarakatan lain jika diperlukan. Budiman Kusumah menambahkan bahwa kondisi GDR dan M pada saat diserahkan ke LP sudah menunjukkan perkembangan yang positif. Kadar ekstremisme mereka sudah berada pada tingkat yang lebih rendah, yang mempermudah proses pembinaan dan pemulihan dari pengaruh radikalisasi.
Dengan adanya program pembinaan yang terstruktur dan pengawasan yang ketat, diharapkan kedua narapidana ini dapat kembali ke masyarakat dengan pemahaman yang lebih baik tentang nilai-nilai kebangsaan dan toleransi. Pemerintah dan lembaga pemasyarakatan berkomitmen untuk terus melakukan upaya maksimal agar narapidana terorisme dapat menjalani hukuman dengan baik dan kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif dan menghargai kehidupan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.