Jember Pos – Indonesia dan Malaysia telah mencapai kesepakatan untuk meminimalkan penangkapan nelayan yang beroperasi di perairan perbatasan kedua negara. Langkah ini diambil dengan meningkatkan koordinasi dan memperkuat kerja sama maritim untuk menjaga hubungan baik serta stabilitas kawasan. Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Antoni Arif Priadi, mengungkapkan bahwa kedua pemerintah telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) berjudul “The Common Guidelines Concerning Treatment of Fishermen By Maritime Law Enforcement Agencies of Malaysia and The Republic of Indonesia.”
Dalam pernyataannya di Jakarta, Antoni menjelaskan bahwa MoU ini menekankan bahwa jika terjadi pelanggaran di area perbatasan, khususnya di Selat Melaka, tindakan yang diambil harus berupa penghalauan, bukan penangkapan. Langkah ini diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih bagi nelayan kedua negara yang beroperasi di wilayah tersebut.
Untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh nelayan dan pelaut Indonesia yang bekerja di Malaysia, serta nelayan tradisional di perairan perbatasan, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur melalui Atase Perhubungan RI telah menyelenggarakan workshop. Kegiatan yang bertajuk “Addressing the Challenges Faced by Indonesian Seafarers Working in Malaysia and Traditional Fishermen in Indonesia-Malaysia Border Waters” ini diadakan di Jakarta dan diinisiasi oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia, Indera Hermono. Workshop ini dihadiri oleh berbagai pejabat dari instansi terkait di kedua negara, termasuk perwakilan dari Kementerian Perhubungan.
Antoni juga menyebutkan bahwa Indonesia dan Malaysia berbagi perbatasan di Laut Tiongkok Selatan dan Laut Sulawesi, serta bersama-sama mengelola Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran internasional. Perbatasan laut ini dimanfaatkan oleh nelayan, termasuk nelayan tradisional, untuk mencari ikan. Namun, kurangnya peralatan navigasi yang memadai seringkali membuat nelayan tanpa sadar memasuki teritori negara lain, yang kemudian berujung pada penangkapan oleh aparat penegak hukum.
Menurut Antoni, hingga Desember 2023, terdapat 21 kasus penahanan perahu nelayan tradisional Indonesia di perairan Penang, Perak, Johor Bahru, dan Tawau, dengan 12 nelayan yang saat ini menjalani hukuman. Sebagian besar nelayan yang ditahan berasal dari Sumatera Utara dan Aceh Timur.
Dia menegaskan bahwa Ditjen Perhubungan Laut telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-DJPL 17 Tahun 2024 yang menyoroti pentingnya perizinan untuk usaha keagenan awak kapal, sebagai respons terhadap Putusan Mahkamah Agung MA 67 Tahun 2022. Sosialisasi kepada semua pemangku kepentingan juga terus dilakukan untuk memberikan panduan dan menciptakan keseragaman serta kepatuhan hukum di sektor ini, termasuk dalam pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Sementara itu, Hendri Ginting, Direktur Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, menambahkan bahwa kontribusi nelayan tradisional di wilayah perbatasan sangat penting, baik dalam penyediaan sumber daya ikan maupun dalam menjaga kedaulatan dan keberlanjutan ekosistem laut. Namun, data menunjukkan bahwa jumlah pelaut Indonesia yang terdaftar di Jabatan Laut Malaysia mengalami fluktuasi, dari 1.926 orang pada 2020, meningkat menjadi 3.171 orang pada 2021, lalu turun lagi menjadi 1.914 orang pada 2023 dan 818 orang pada Juni 2024.
Hendri mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh pelaut Indonesia, seperti kurangnya pemahaman mengenai kontrak dan tingginya persaingan dengan pelaut asing, menyebabkan penurunan jumlah pelaut yang bekerja di Malaysia. Melalui workshop ini, diharapkan permasalahan tersebut dapat didiskusikan dan dicari solusinya. Dampak positifnya adalah peningkatan jumlah pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan kesejahteraan yang lebih baik serta pengurangan jumlah kasus penangkapan nelayan tradisional Indonesia di perairan Malaysia.