Jember Pos – Bapak dan anak yang merupakan pengasuh sebuah pondok pesantren di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, dijatuhi hukuman penjara selama sembilan tahun karena terlibat dalam tindakan pencabulan terhadap santri. Putusan ini diumumkan oleh juru bicara Pengadilan Negeri Trenggalek, yang menjelaskan bahwa majelis hakim telah menindaklanjuti kasus pencabulan yang mengejutkan ini.
“Setelah menjalani persidangan, masing-masing terdakwa dipidana sembilan tahun penjara dan dikenakan denda sebesar Rp100 juta. Apabila denda tersebut tidak dibayar, mereka akan dijatuhi hukuman tambahan berupa enam bulan kurungan,” kata Marshias Mereapul Ginting, juru bicara Pengadilan Negeri Trenggalek, pada hari Selasa.
Vonis ini dinyatakan inkrah, yang berarti tidak ada banding dari pihak jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum terdakwa setelah tujuh hari pasca pembacaan putusan. Sikap tidak mengajukan banding ini menandakan bahwa kedua belah pihak telah menerima keputusan majelis hakim. Ginting menambahkan bahwa keputusan hakim kali ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Masduki, salah satu terdakwa, dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta dengan subsider enam bulan kurungan. Sementara itu, untuk Faisol, yang merupakan anak dari Masduki, tuntutan yang diajukan lebih tinggi, yakni 11 tahun penjara dan denda yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka terlibat dalam tindakan kriminal yang sama, peran dan dampak tindakan mereka dipandang berbeda oleh jaksa.
Kasus ini bermula dari laporan yang masuk ke pihak kepolisian mengenai pencabulan yang dilakukan oleh kedua terdakwa terhadap santri mereka sendiri. Kejadian ini berhasil mencuri perhatian masyarakat luas, terutama karena melibatkan individu yang seharusnya menjadi teladan dan pengayom bagi santri di lingkungan pondok pesantren. Hal ini mengundang keprihatinan di kalangan orang tua dan masyarakat yang mengandalkan pondok pesantren sebagai tempat pendidikan moral dan spiritual bagi anak-anak mereka.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan diharapkan menjadi tempat yang aman bagi santri untuk belajar dan berkembang. Namun, ketika tindakan pencabulan seperti ini terjadi, kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut bisa terguncang. Masyarakat tentunya berharap agar kasus ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak, termasuk pengasuh dan pengelola pondok pesantren, untuk lebih memperhatikan lingkungan dan menjaga keamanan santri.
Pengadilan Negeri Trenggalek telah menunjukkan komitmennya dalam menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi korban, serta menjadi sinyal bahwa tindakan pencabulan tidak akan ditoleransi, terlepas dari posisi sosial atau pendidikan pelakunya. Diharapkan dengan vonis yang dijatuhkan, tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga memberi dorongan bagi korban dan orang tua untuk berani melapor jika terjadi pelanggaran.
Kejadian ini juga menegaskan pentingnya pengawasan dan edukasi di lingkungan pondok pesantren agar hal serupa tidak terulang di masa depan. Kesadaran untuk melindungi anak-anak dari tindakan yang tidak pantas harus menjadi prioritas bagi setiap pengasuh dan pemilik lembaga pendidikan. Pengawasan yang ketat serta penerapan aturan yang jelas di lingkungan pondok pesantren diharapkan dapat menciptakan suasana yang lebih aman dan nyaman bagi santri.
Masyarakat kini semakin memperhatikan bagaimana institusi pendidikan, khususnya pondok pesantren, beroperasi dan mengawasi pengasuhnya. Kasus ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk meningkatkan standar pengawasan di pondok pesantren demi menjaga anak-anak dari ancaman yang tidak diinginkan. Dengan langkah ini, diharapkan akan tercipta lingkungan yang lebih aman bagi generasi penerus bangsa.